English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sunday, December 16, 2012

Berkaca Dari Finlandia: Sebuah Anomali Pendidikan?

Sebenarnya, sudah lama sekali saya mengagumi sistem pendidikan negara yang satu ini. Saya tertarik untuk menelusuri lebih dalam bagaimana negara ini memberlakukan sistem pendidikannya. Jujur saja, saya sangat kagum, dan kadang-kadang sering membayangkan bagaimana jika negara kita (Indonesia) mengadopsi sistem pendidikan di Finlandia, dengan sedikit menyesuaikan dengan budaya kita. Kekaguman saya semakin bertambah ketika negara ini secara konsisten menempati peringkat teratas dalam tes PISA (Programme for International Study Assessment), sebuah studi internasional yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan di berbagai penjuru dunia.

Kala itu, pada tahun 2009, Cina memang menempati urutan pertama dalam tes PISA, namun Finlandia yang saat itu ada di peringkat 3, selalu konsisten menempati peringkat atas. Keberhasilan Finlandia ternyata bersumber dari implementasi sistem pendidikannya yang unik. Perlu diketahui, PISA adalah sebuah studi internasional yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan di dunia. Evaluasi 3 tahunan ini dilakukan dengan mengukur keterampilan dan pengetahuan siswa berusia 15 tahun yang diplih secara acak. Bidang yang diukur adalah membaca, matematika dan sains. Pada tahun 2009, Cina menempati ranking pertama secara umum, diikuti Korea dan Finlandia. Amerika Serikat menempati urutan 17, Inggris peringkat 25 dan Indonesia ada di nomor 57 dari 65 peserta. Dan terakhir, di tahun 2012, negara ini menempati urutan pertama, konsisten, mereka selalu menempati urutan teratas.

Dari berbagai sumber yang saya kumpulkan, bisa disimpulkan bahwa sistem pendidikan di Finlandia adalah sumbernya, yaitu pandangan positif terhadap profesi guru, tidak adanya ujian wajib dan standar, kurikulumnya tidak terlalu 'akademis' yang terlalu berpatokan pada angka, dan setiap sekolah memiliki otonomi khusus dalam menyelenggarakan pendidikan. Negara ini memahami betul bahwasanya otak siswa bukanlah sebuah panci bertekanan, yang harus dipaksakan, dicekoki, dan dimampatkan dengan banyaknya mata pelajaran yang tidak penting itu!
Mereka sangat memahami bahwasanya pendidikan yang baik tidak terletak pada hasil yang baik, terkadang, "standardized test" hanya sebagai PATOKAN bukan LANDASAN.
Bayangkan saja, berapa milyar uang negara yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk membuat soal-soal ujian itu, tapi coba lihat berapa milyar individu yang bermutu?
Apakah setiap siswa memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tes yang sama?
Ibaratnya, ketika Anda ingin melakukan 'medical check up', Anda tidak perlu menyedot seluruh darah yang ada di badan untuk mengetahui penyakit apa yang diidap. Cukup beberapa tetesan saja. Dalam lingkup pendidikan, tidak perlu mengetes seluruh siswa tapi cukup dengan "randomized sample" untuk mewakili, namun dengan prosedur dan sistem yang valid. Bukanlah sebuah Ujian Nasional yang selama ini diagung-agungkan pemerintah negara. Jika di negara-negaja maju memberlakukan "standardized test" untuk mengukur kemajuan siswa di sekolah, Finlandia tidak melakukan hal yang sama. Bagi mereka kemampuan murid tidaklah sama, jadi melakukan tes baku untuk semua murid sama sekali tidak menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Tidak heran prinsip pendidikan di Finlandia adalah "Test Less, Learn More", kurangi ujian, perbanyak belajar. Bandingkan saja dengan negara kita.

Berikut saya petikkan beberapa poin dari berbagai sumber;
  • Setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai dengan baik.
  • Satu orang guru (bergelar S2) bertindak sebagai guru mata pelajaran sedangkan dua orang lagi (bergelar S1) menjadi pengawas dan pembimbing setiap siswa dalam memahami setiap bidang studi dan mendampingi anak secara individual apabila mengalami kendala saat proses belajar berlangsung. Guru bukanlah seorang pendikte sejati, dan mereka memahami betul itu
  • Dimana setiap kecakapan dan keterampilan di bidang tertentu yang dimiliki oleh setiap siswa (ekstrakurikuler), bila sudah merasa mampu bisa mengusulkan diri untuk diuji
  • Tugas-tugas (PR), les tambahan dan bimbingan ini dan itu nyaris tidak pernah ada di Finlandia. Bagaimana dengan negara kita? Jawab sendiri. Tekanan yang begitu berat sangat terasa apalagi menjelang UN
  • Untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini tidak begitu diperlukan. Oleh karena itu, perpindahan dari tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke SMA. Berapa banyak uang negara untuk membiayai hal-hal semacam itu di Indonesia?
  • Evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan dijenjang SMA ketika yang bersangkutan akan melanjut keperguruan tinggi atau merambah dunia kerja. Dan ini hanya sebagai sumber patokan, bukan landasan. Tidak penting antara gagal atau tidak
  • Para siswa di Finlandia tidak mengenakan seragam. Bahkan kepala sekolah mengenakan celana jeans dan kemeja berleher terbuka di sekolah. Karena mereka adalah para akademisi dan sudah terlatih.
  • Anak-anak dibiasakan belajar dalam suasana yang santai dan informal. Tidak ada tekanan sama sekali. You see?
  • Pendidikan di sekolah berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki.
  • Persekolahan tingkat dasar dan menengah digabung, sehingga murid tidak perlu berganti sekolah pada usia.
  • Dengan cara ini, mereka terhindar dari masa peralihan yang bisa menganggu dari satu sekolah ke sekolah lain.
  • Jasa termasuk makan siang panas gratis setiap hari, kesehatan sekolah dan transportasi gratis bagi anak-anak yang tinggal terlalu jauh dari sekolah untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum.
  • Tidak ada keharusan bagi tiap siswa untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha sebaik mungkin.
  • Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Mereka tidak butuh sistem strata dalam pendidikan, dimana jurang siswa yang cerdas dan bodoh sangat terlihat. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.
  • Tidak ada metode belajar ceramah,menciptakan suasana proses belajar-mengajar itu menyenangkan (learning is fun) melalui penerapan belajar aktif.
  • Bahasa asing mulai diajarkan dari kelas I SD. Alasan kebijakan ini adalah memenangkan persaingan ekonomi di Eropa, membuka kesempatan kerja lebih luas bagi lulusan, mengembangkan wawasan menghargai keanekaragaman kultural.
  • Siswa-siswa Finlandia ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia yang 220 hari.
  • Setiap anak diwajibkan mempelajari bahasa Inggris serta wajib membaca satu buku setiap minggu. MasyaAllah.
  • Semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independen. Karena dengan adanya banyak pendiktean membuat para siswa akan merasa tertekan dan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
  •  Kegemaran membaca aktif didorong.
  • Stasiun TV Nasional lebih banyak menyiarkan program berbahasa asing dengan teks terjemahan dalam bahasa Finish sehingga anak-anak bahkan membaca waktu nonton TV. Di Indonesia? Sinetron diperbanyak, Boyband alay diagungkan. Tidak mendidik sama sekali.
  • Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan.
  • Anak Finlandia tidak diijinkan belajar sebelum usia tujuh tahun, "kami menghormati masa kecil anak-anak dan hak mereka untuk bermain. di Finlandia mereka tak diharuskan bersekolah sampai mereka cukup besar untuk bisa duduk tenang dan mematuhi aturan.
  • No competition, pendidikan di Finlandia tidak mengajarkan siswa untuk menjadi siapa yang terpandai namun lebih menekankan bagaimana membentuk "community" yaitu mengabungkan guru sebagai pendidik, siswa sebagai anak didik, dan masyarakat sebagai bagian dari pendidikan, sehingga kolaborasi ini yang membuat pendidikan lebih unggul karena semua merasa bertanggung jawab akan proses pendidikan.
  • Mayoritas sekolah di Finlandia tidak "menjual" nama. Tidak ada SBI, RSBI, SSN, atau apalah itu namanya. Intinya mutu seluruh sekolah di Finlandia adalah sama, jadi tidak ada istilah membedakan. Orang tua dapat dengan mudah memilih sekolah mana saja untuk anaknya tanpa harus ragu akan kualitas sekolah tersebut. Yang membedakan adalah hanya pada 2 hal: setiap sekolah memiliki pelajaran bahasa asing yang berbeda dan olahraga khusus. Sehingga para orang tua dapat memilih bahasa asing dan olahraga terbaik bagi anak mereka.
  • Selisih perbedaan skor antara siswa terlemah dan terkuat adalah yang terkecil di dunia. "Kesetaraan" adalah kunci dalam pendidikan Finlandia. Semua partai politik menyetujuinya (ini yang sangat berbeda dengan negara kita, dimana selisih perbedaan siswa terlemah dan terkuat sangat besar, apalagi dengan munculnya sekolah sekolah SBI dengan biaya yang lebih tinggi pula daripada sekolah lainnya). Hampir 30% anak-anak Finlandia mendapatkan bantuan khusus.
  • Tidak ada politisasi dalam pendidikan mereka, sanksinya pun tegas, tidak main main. Sehingga, praktik KKN hampir tidak ada dalam pendidikan negara ini.
Saya masih ingat betul bait pada pembukaan UUD 1945, bahwa salah satu tujuan dari negara Indonesia adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa...". Pendidikan adalah hak setiap warga negara, itu tercantum di UUD 1945, tidak membedakan miskin, kaya, pandai, ataupun bermasalah. Saya tidak bermaksud menjelekkan negara kita sendiri, toh tidak perlu dijelekkan, kita sendirilah yang bisa menilainya. Saya percaya betul, pendidikan yang baik akan menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang baik, yang dibutuhkan untuk membangun negara sehingga memperkecil angka pengangguran dan mengurangi angka kriminalitas. Jangan sampai, kurikulum terbaru yang akan segera dipublish pemerintah kita (Kurikulum 2013), akan membuahkan sebuah perencanaan kegagalan pendidikan (lagi). Kita terkadang terlalu banyak mengkambing-hitamkan pendidikan. Alih-alih sistem pendidikan yang salah, yang diubah justru kurikulum. Memang tidak sepenuhnya salah, tetapi jika tanpa diikuti oleh pembenahan kualitas pendidik. Sama saja bodong. Malah pelajar yang disalahkan. Sungguh hipotesa yang tidak bertanggung-jawab.

Perlu diketahui pula, sistem ini tidak dihasilkan secara instan, tetapi sudah dicanangkan dari tahun 1960-an, kurang lebih sudah 52 tahun. Kita sadari betul, kualitas pendidikan negara lah yang menentukan bagaimana masa depan negara tersebut. Bila kita amati, produk-produk pendidikan kita saat ini, tidak lain adalah buah dari sistem pendidikan kita kurang lebih 20 tahun yang lalu, yang pinter namun minterin rakyat.

Bila tidak segera dibenahi, mau jadi apa bangsa ini ke depan?
Tugas kita semua.

Wallahu a'lam bish-shawab.

0 comment(s):

Post a Comment