English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Saturday, November 17, 2012

Alay: Gaul, Tren, atau Krisis Identitas Kah?

Ah, sudah lama sekali saya ingin mengulas topik ini. Tetapi baru kesampaian sekarang. Baiklah. Tetapi sebelumnya saya tegaskan bahwa hal yang akan saya kupas kali ini hanya berdasar kepada opini dan pemikiran saya saja, yang saya coba pahami dari fenomena yang belakangan telah menjamur pada kalangan ABG atau remaja Indonesia pada umumnya. Jadi, saya harap pembaca mampu memahami dan merespon hal ini melalui perspektif dan cara pandang yang rasional dan objektif. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung beberapa pihak yang merasa, melainkan saya berharap kita mampu mengatasi degradasi mental pemuda kita saat ini. Baiklah.

Saya sering sekali tertawa menggelitik saat melihat nama atau status dari teman-teman facebook saya yang menggabungkan huruf besar-kecil, angka, dan simbol-simbol tambahan. Entah maksudnya apa, mungkin karena faktor remaja yang ingin diperhatikan, kreativitas yang disalahtempatkan, atau gaul? Tapi belakangan saya ketahui bahwa mereka disebut 'Alay'. Mereka sering sekali menggunakan kata-kata (yang saya anggap) untuk membacanya pun sulit dan pusing. Seperti, 'Bebyameliacayankridhomulyadie Dengansepenuhhati Kanselalucayankridho' (baca: Bebi Amelia Sayang Ridho Mulyadi Dengan Sepenuh Hati Kan Selalu Sayang Ridho), 'Riiamiraldhie NapashacLiq Ladiezvikerz (Ainkkbbenciissiia)' (entah seperti apa cara membaca yang ini -hehe), atau 'Sherllyghibitiyahaliyah Lorenciiabenciitmendmunapik SyngmamhMahessadrofwanted (Bumbum)' --> Nah, yang ini saya benar-benar pusing cara bacanya seperti apa. Mungkin ada yang bisa membantu?

Hemmm... Saya jadi membayangkan jika nama profil facebook saya, saya ubah menjadi "D'BoyzZRastafaratwethealdbetell Geuselsiigembelpeacelana Panjangsandaljepitbiruputihclu", atau "DauzZXBieberbachdimC-luvers D'bieterzRisekyuhyun De4ngelojungyonghwawilliamelf kessellegRemmoteTV". Hehe, Saya tidak bisa membayangkan betapa gelinya teman-teman saya jika tahu saya merubah nama saya seperti itu :D

Baiklah. Kita cukupkan gelak tawa kita sampai di situ. Dan coba kita amati bahwa fenomena yang telah menjamur ini, menjadi penyebab menurunnya kualitas Bahasa Indonesia, degradasi moral, dan prilaku remaja kita. Tanpa menghilangkan keharusan remaja untuk bebas mengekspresikan dan mengeksplorasi diri mereka. Alay, ya, Alay, menurut sumber yang saya ketahui Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan" atau "anak lebay". Ibarat sebuah layangan, ia akan mengikuti kemana angin meniupnya, tidak mantap, mudah terbawa angin, dan mudah terbawa arus. Istilah ini merupakan stereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Selain itu, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan dan selalu berusaha menarik perhatian. Seseorang yang dikategorikan alay umumnya memiliki perilaku unik dalam hal bahasa dan gaya hidup. Dalam gaya bahasa, terutama bahasa tulis, alay merujuk pada kesenangan remaja menggabungkan huruf besar-kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat secara berlebihan. Dalam gaya bicara, mereka berbicara dengan intonasi dangaya yang berlebihan. Di Filipina terdapat fenomena yang mirip, sering disebut sebagai Jejemon. Alay merupakan sekelompok minoritas yang mempunyai karakterisitik unik di mana penampilan dan bahasa yang mereka gunakan terkadang menyilaukan mata dan menyakitkan telinga bagi mayoritas yang tidak terbiasa bersosialisasi dengannya. Biasanya para Alayers (panggilan para Alay) mempunyai trend busana tersendiri yang dapat menyebar cepat layaknya wabah virus dikalangan para Alayers yang lain, sehingga menciptakan satu keseragaman bentuk yang sedikit tidak lazim.

Lalu, mengapa fenomena ini cepat menjadi?

Saya menilai bahwa semua prilaku ke-alay-alay-an tersebut pada akhirnya memang berpola sama, yaitu bahwa para alay tersebut berusaha menunjukkan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari diri mereka yang sebenarnya. Dan, prilaku-prilaku tersebut biasanya muncul pada diri seseorang dengan didasari oleh rasa kurang percaya terhadap diri sendiri. Setidaknya, ada 2 golongan yang sangat-sangat sering diidentikkan dengan alay, yang pertama adalah masyarakat marginal, yang kedua adalah ABG (Anak Baru Gede). Jika dilihat dari kedua golongan tersebut, saya rasa adalah lumrah jika saya menduga bahwa fenomena tersebut memang berangkat dari masalah kekurangan percaya diri, karena ABG adalah kaum yang sangat-sangat rentan terhadap sindrom krisis identitas diri. Mereka adalah orang-orang dengan berbagai ekspektasi akan masa depan impian yang merasakan banyak sekali benturan dalam diri mereka untuk mencapai ekspektasi tersebut. Perasaan terbentur oleh keterbatasan diri tersebut sangat wajar mengakibatkan depresi akan identitas, dan saya rasa juga itu sebabnya kenapa musik-musik yang diidentikkan dengan alay biasanya adalah musik dengan aroma depresi, putus asa, patah hati dan lain sebagainya.

Jika saya petakan, mungkin seperti inilah proses bagaimana seseorang berubah menjadi penganut Alay;
1. Seorang remaja melihat banyak sekali contoh masyarakat yang "keren" dalam pandangan mereka.
2. Kemudian, timbullah keinginan untuk menjadi seperti orang-orang keren tersebut, berpenampilan menarik, memiliki pasangan yang juga menarik, dan hidup dikelilingi benda-benda yang juga keren. Dan mengidolakan tokoh-tokoh yang mereka kira seperti itu.
3. Keterbatasan diri mereka membuat mereka merasa minder, namun keinginan untuk menjadi "keren" tetap ada.
4. Keinginan itu diwujudkan dalam berbagai hal, foto yang diatur sedemikian rupa hingga terlihat bagus, gaya dandanan yang berusaha mengikuti orang-orang yang diidolakan, sampai menggunakan nama yang lebih berkesan 'catchy' atau kece.
5. Namun, tetap dalam diri mereka, rasa depresi itu ada, dan itu tergambar dari musik yang mereka dengar, bukan rahasia jika boyband yang dicap alay seperti Smash (maaf) sebagian besar lagunya adalah lagu putus asa, putus cinta, riang, dan lain sebagainya.
6. Efek lain dari krisis identitas diri salah satunya adalah over acting, yang kini telah berevolusi menjadi over segalanya atau biasa disebut lebay, jadi menurut saya tidak salah jika alay diidentikkan dengan lebay.
7. Selain itu, depresi dari sindrom identitas diri sangat memungkinkan seseorang menjadi sensitif dan mudah tersinggung, maka saya tidak akan heran jika ada alay yang membaca artikel saya ini dan marah-marah :P

Muslim Alay? Kok bisa?

Dan yang lebih mengkhawatirkan saya adalah banyak sekali para remaja atau orang dewasa lainnya, yang mereka kira dengan menyingkat terminologi-terminologi Islam adalah suatu gaya baru. Banyak yang mengira menyingkat frasa Islami menjadi kalimat pendek adalah bentuk modernitas gaya baru. Padahal kebiasaan ini sudah ada sejak lama dan bukan sesuatu yang baik untuk dibanggakan. Karena itu, terutama ABG, sering sekali meng-alay-kan frasa-frasa Islami. Dan lebih parahnya, mulai berani meng-alay-kan Asma Allah. Na'uzubillah.

Seperti mengubah Yaa Allah menjadi 'Yaolo' (contoh: Yaolo tolong!), menyingkat Astaghfirullaahal 'azhiim menjadi 'astajim'. Jujur saja, saya kaget ketika mendengar teman saya yang ketika sedang panik, pasti dia bilang astajim. Bahkan saya sering baca status teman di Facebook yang jika sedang marah pada suatu kondisipasti ngetik astajim. Entah karena malas ngetik, atau saking marah dan paniknya, atau malah karena sudah menjadi bagian dari muslim alay yang bangga menyingkat frase islami. Menyingkat assalaamu'alaikum jadi 'ass' (dalam bahasa Inggris ass berarti apa ya?) Lebih baik sempurnakan ucapan salam karena ucapan salam adalah doa, dengan mengucapkan 'camlequm' atau 'lamlekum', kita membatalkan sebuah doa. Na'uudzubillaah, semoga Allah swt menjauhkan kita dari yang demikian. Degradasi ajaran Islam, salah satunya melalui bahasa, sasaran empuknya melalui anak-anak dan generasi muda.

Ah sahabat, bolehlah engkau dengarkan sedikit nasihat dariku ini.

Sahabat, engkau akan lebih dihargai dan dihormati bila engkau menghargai dirimu sendiri. Percayalah. Engkau dilihat dari potensi dirimu. Bukan dirimu yang lain. Bukankah indah jika engkau bangga menggunakan namamu yang memang sudah indah itu menjadi jaminan kualitas dirimu? Lebih baik engkau muliakan dirimu dan orang yang engkau cintai.

Wallahu Ta'ala a'lam.

1 comment(s):