English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Wednesday, December 26, 2012

Mengapa Hidup Harus Bermanfaat?

Saya jadi teringat ucapan populer dari Syaikh Aidh al-Qarni, "Orang yang pertama kali akan dapat merasakan manfaat memberi adalah pihak yang memberi itu sendiri. Mereka akan merasakan 'buah' memberi seketika itu juga, dalam jiwa, akhlak dan nuraninya. Sehingga mereka selalu lapang dada, merasa tenang, tenteram dan damai."

Ya. Benar. Hidup itu harus banyak memberi manfaat. Bukan menerima (diberi) manfaat.

Kita sudah cukup gelisah dengan gaya hidup materialis dan hedonis. "Yang penting, hidupku enak, rumahku nyaman, keluargaku sehat-sehat, karirku sukses, mobilku berkelas. Persetan dengan urusan orang lain!"

Gaya hidup seperti ini adalah gaya hidup yang dibangun dengan semangat nafsi-nafsi. Atau dalam istilah populer orang Betawi, "Loe-loe, gue-gue." Tak perduli apakah tetangga kanan-kiri kelaparan. Tak perduli di pojok-pojok kota kemiskinan menjaja. Tak ambil pusing. Inilah dunia sekarang.

Rekayasa telah mengubahnya menjadi dunia belantara. Dimana bahasa global kita adalah kekuatan besi dan baja; bahasa bisnis kita adalah persaingan; bahasa politik kita adalah penipuan; bahasa sosial kita adalah pembunuhan; bahasa jiwa kita adalah kesepian, keterasingan. Kita adalah masyarakat sipil berwatak militer, hancur sana, hancurkan sini; masyarakat peradaban berbudaya primitif. Kita adalah manusia-manusia sepi di tengah keramaian, manusia-manusia merana di tengah kemelimpahan. Luarnya tampak bahagia, padahal dalamnya sebenaranya menderita.

Khairun-naasi anfa'uhum lin-nas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Kata Rasulullah.

Saya akan tutup tulisan singkat ini dengan sebuah nasihat;
"Butir-butir embun turun dari arah langit. Ia muncul bumi secara sembunyi-sembunyi, tanpa dilihat manusia. Jadilah butir-butir embun itu; bertakwa, banyak, dan tersembunyi."

0 comment(s):

Post a Comment