English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Friday, January 18, 2013

Rahmat Air: Ketika Kesadaran Dihentikan Realita

Mungkin terkesan antagonistik pada judul yang saya beri atas tulisan saya ini. Saya menggabungkan kata 'rahmat' dengan 'realita', padahal air merupakan 'musuh' utama kita saat ini. Tapi inilah yang saya pahami. Jakarta, yang katanya kota yang tak berhenti berdenyut, kini lumpuh tak berkutik di hadapan 'kawan lama' nya ini. Saat ini, perekonomian Jakarta benar-benar lumpuh. Mulai dari presiden sampai penghuni residen kumuh. Mulai dari pedagang asongan sampai pekerja kantoran. Mulai dari sekolahan hingga transportasi. Semuanya berhenti.

Kali ini, kesadaran publik benar-benar diberhentikan realita. Kesadaran publik benar-benar diuji. Kesadaran publik benar-benar dinanti. Air, seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi tiap warga Jakarta.

Duh. Air.

Sepertinya, saat ini dialah yang banyak dipersalahkan. Benar?
Namun, ada yang sedikit menggelitik di benak saya jika membayangkan sebuah realita ini. Saya sangat ingat betul, beberapa bulan yang lalu, ketika musim kemarau.

Menyedihkan.

Ketika kekeringan dahulu. Aduh duh. Kekeringan dan matinya sumber-sumber air menjadi pemandangan panjang. Negeri yang termasuk memiliki curah hujan tinggi ini berkutat dengan pemanasan. Belum lagi kebakaran infrastruktur sosial maupun hutan-hutan lindung. Maka musibah banjir di satu musim dan musibah kekeringan dan kebakaran di musim lain seperti menjadi ciri utama bagi masyarakat Indonesia. Ketika banjir terjadi, saling tuding-menuding terjadi, curah hujan yang tinggi sebagai penyebab utama lah, sehingga hujan tidak dirasa sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya yang menghuni negeri yang amat subur ini dan sebaliknya jika kekeringan dan kebakaran terjadi Allah yang menjadi tertuduh pertama karena tertundanya turun hujan.Saling melempar kesalahan dan tanggung jawab selalu mewarnai silang sengketa masyarakat terhadap fenomena sosial yang menyedihkan ini. Lucu memang.

Lalu, sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Bukankah hujan adalah rahmat Tuhan? Lalu mengapa air yang dipermasalahkan? Apakah kita sendiri yang membeli bencana ini dengan maksiat yang kita perbuat? Akhir tahun kita berpesta pora bak tak ingat akhirat. Awal tahun kita merana meradang dan saling menyalahkan. Apakah Tuhan mulai bosan dengan tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa? Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Itu kata Ebiet G. Ade. Apakah ini hukuman?

Tapi kukatakan lantang. Tidak. Tuhan tidak pernah bosan dengan kita, kekasih Tuhan.

 "Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya."
(QS. al-Mu'minun [23]: 18)


Hujan itu rahmat. Ya. Tapi, hati-hati ketika air menuntut haknya. Ketika air menuntut area untuk meresap, ketika air menuntut tempat untuk mengalir. Ini bukan "God Error", musibah banjir adalah murni human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem. Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Sayang penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.

Paling tidak, ada beberapa 'hak' air yang dizhalimi oleh manusia;
1. Penolakan masyarakat terhadap penyerapan air hujan oleh bumi. Pembangunan infrastruktur sosial yang tidak ramah lingkungan. Penutupan (pemampetan) akibat hampir semua permukaantanah di floor dengan semen atau aspal, sehingga air hujan hanya menggenang untuk waktu yang lama tanpa mampu meresap ke dalam tanah, kecuali kalau ada celah-celah bangunan atau jalan yang rusak.

2. Penutupan dan pengalih fungsi situ-situ resapan air untuk mall dan bangunan-bangunan ekonomi kapitalistik maupun untuk komplek-komplek perumahan baru, baik elite maupun Perumnas. Hal ini mengakibatkan tidak terserapnya air hujan atau sebaliknya terjadi genangan banjir baik di tempat itu ataupun di tempat lain yang lebih rendah.

3. Kesadaran rendah terhadap arti kebersihan bagi sebuah lingkungan sosial yang sehat. Pembuangan sampah di sembarang tempat menjadi penyebab utama tersendatnya aliran air limbah maupun air hujan ke tempat semestinya, bak sampah terbesar di seluruh dunia ternyata adalah sungai-sungai di sekitar kita.

4. Salah urus pembuatan banjir kanal sebagai sistem pengaturan air yang mestinya membawa kemaslahatan ini diperparah oleh kenekatan penduduk yang beramai-ramai tinggal di kawasan bantaran sungai.

5. Penebangan dan bahkan penggundulan hutan yang membabi-buta untuk tujuan-tujuan ekonomis sesaat. Sehingga salah satu fungsi hutan sebagai tempat resapan airpun menjadi hilang dan tidak bermakna, maka daerah-daerah pedalaman pun sekarang menjadi sangat akrab dengan banjir dan bahkan dengan tanah longsor.

Saya mencoba meletakkan masalah pada tempatnya. Penghujatan kita terhadap orang lain, pemerintah, terhadap fenomena ini benar-benar menjadi tamparan bagi kita yang kesadarannya dialihkan realitas. Ingin berubah namun susah diatur. Ingin bebas banjir namun membuang sampah sembarangan. Ingin bebas macet namun egoisme mengalahkan kebersamaan, transportasi umum tak ada gunanya.

Inilah realitas tanpa kesadaran. Kita seolah hidup di dunia belantara. Primitif. Banyak impian namun tetap terlena dalam tidur panjang.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." 
(QS. ar-Rum [30]: 41) 

Menarik sekali kita mencermati penghujung ayat di atas "agar mereka kembali". Potongan ayat ini mengisyaratkan harus adanya solusi sosial atas musibah yang menimpa masyarakat (dalam hal ini musibah banjir). Menjalani kehidupan sosial yang sadar etika lingkungan alam dan lingkungan sosial serta pandai memahami ayat-ayat kauniyah yang berlaku atas alam semesta ini sebagai wujud kembali kepada kebenaran Allah Ta'ala. Perilaku sosial yang merusak harus dihentikan, siapapun pelakunya. Sikap acuh terhadap perilaku, menyimpang ini hanya akan menebar bencana demi bencana yang mungkin akan menjadi sejumlah lingkaran setan persoalan sosial yang tidak teratasi.

Kini. Kesadaran kita terhadap lingkungan selanjutnya benar-benar akan diuji. Mulailah. Karena bisa jadi, air akan kembali menuntut haknya.

Kesadaran kita akan dipertaruhkan.

Allahu a'lam.

0 comment(s):

Post a Comment